Pesan Dari Om Jaya Kepada Taksi Blue Bird


Saya adalah salah satu fans berat film Surat Dari Praha yang disutradarai Angga Sasongko. Tentu saja ini masalah selera, karena romansa yang ditawarkan film Surat dari praha memang tergolong tidak mainstream. Karakter Om Jaya pada film ini juga membuat saya jatuh hati. Sedikit misterius, introvert, tegas, dan memendam masalah masa lalu.

Mendengar hingar bingar berita demo para supir taksi blue bird di ibu kota, saya malah teringat film Surat Dari Praha. Seperti yang diberitakan Tempo ,

"Sekitar 10 ribu anggota Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto serta kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

 Pada demonstrasi yang berlangsung Selasa pagi, 22 Maret 2016, itu, mereka menuntut pemerintah menghentikan beroperasinya transportasi berbasis online, yakni GrabCar dan Uber. Pekan lalu, unjuk rasa serupa telah dilakukan. 

Di antara pengunjuk rasa, kehadiran sopir taksi Blue Bird mendominasi. Maklum,  perusahaan ini memang memiliki armada taksi paling banyak di Jabodetabek."

Saya melihat demo ini seperti ungkapan frustasi dari sebuah perubahan zaman. Mereka menuntut supaya taksi dan ojek berbasis aplikasi online smartphone, seperti Gojek, GrabTaxi, GrabCar  dan Uber ditutup. Berdasarkan klaim mereka, pendapatan mereka menurun sejak kehadiran taksi dan ojek berbasis online. Di samping itu, taksi dan ojek berbasis online juga lahir tanpa mengurus izin, tanpa investasi kendaraan, tanpa perlu menggaji sopir, tanpa perlu mengurus KIR, asuransi, dan segala tetek bengeknya.

Pertanyaan saya:

1. Kenapa taksi dan ojek berbasis online dianggap sebagai ancaman bagi taksi konvensional?

Karena kemudahannya dalam memesan. Tinggal sentuh-sentuh smartphone , nanti dijemput di tempat. Dan harganya lebih murah. Lah, penumpang mana yang tidak mau diberi kemudahan?

2. Kenapa taksi konvensional seperti Blue Bird tidak berinvestasi pada pembuatan aplikasi serupa?

Jika kita memakai logika sederhana, zaman terus berubah. Seperti kata Om Jaya (Tio Pakusadewo) dalam sebuah adegan di film Surat Dari Praha kepada Larasati (Julie Estelle).

  • Om Jaya : "Waktu merubah banyak hal, kekuasaan berubah, politik berubah, ilmu pengetahuan berubah, hanya cinta dan musik yang tidak pernah berubah,"
  • Larasati : "Musik mungkin, Tapi cinta? cinta masih bisa berubah. Hidup saya sih gitu,"

 Misalnya, karena lahirnya E-mail,  BBM, Line, What's up,  terkuburlah zaman surat cinta. Apakah lantas pak posnya pada demo? Tidak. Pos Indonesia sudah move on dan memilih meningkatkan pelayanannya untuk pengiriman paket barang dagangan mbak-mbak online shop. 

Karena lahirnya Lazada, mataharimall.com, Elevenia, dan JD.ID, apakah kokoh-kokoh yang punya counter HP di JogTron lantas demo? Mereka move on jualan HP lewat online dengan pasar yang lebih luas.

Karena lahirnya smartphone, ada yang kalah bersaing seperti Nokia, perusahaan ponsel yang adidaya pada zamannya. Seperti dikutup Kompas.

Betul, hanya musik dan cinta yang tidak pernah berubah. Maka, marilah kita beradaptasi pada perubahan diiringi musik dan cinta.

Bonus :


Comments