Doppelgänger

Matahari hampir terbenam, kakiku tinggal satu. Meletus di pertempuran, terkena granat nanas yang ledakannya begitu buas. Kamu menggendongku sempoyongan. Mencari tempat aman untuk sejenak lari dari ledakan-ledakan.

Kamu melihat air mataku membanjiri mukaku yang kotor ketika kamu berbisik di telingaku "Aku di sini, aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,"
"Aku tidak akan meninggalkanmu dibunuh oleh bayangan mengendap-endap yang mengincar cahaya di matamu"

Aku bilang, "Jangan tinggalkan aku sendiri," sambil batuk darah.
Kamu berbisik "Semua itu akan berakhir sekarang juga. Belanda akan segera angkat kaki dari tanah kita," "Kamu baik-baik saja di sini, tutup matamu, matahari hampir menenggelamkan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa menyakitimu sekarang,"
Senyum di wajahmu seperti membuat gedung kosong ini terang benderang.

Kamu mendongeng lagi,
"Jangan lihat ke arah jendela ya, itu hanya kembang api yang meletup-letup. Ingat lagu-lagu kita, nyanyikan pelan-pelan dalam kepalamu. Kita bernyanyi bersama dalam kepala,"

"Hari esok akan datang, membawa bunuh diri bagi musuh kita. Kita aman. Terlelaplah. Gelap tak akan membunuh kita berdua,"

***

Subuh datang dengan sambutan dinamit langit-langit.
Mataku terbuka dan kamu tidak di sana. Tidak di sudut ruang kosong itu, tidak di luar, tidak di mana-mana. Kamu meninggalkanku dalam peperangan. Hilang tanpa salam. Dengan kaki buntung dan perut robek-robek,

Rombongan musuh menyeruduk masuk membawa senapan laras panjang, memberondongku dengan peluru, tepat di muka. Mendadak terpejam. Tapi tidak terjadi apa-apa. Peluru menembaki tembok-tembok gedung, menembus kepalaku seperti menembus asap.

Saat aku membuka mata, saat itulah aku sadar bahwa aku sudah mati. Rombongan musuh lari tunggang-langgang.

Aku kebingungan. Dengan tanpa kamu di sini, rasanya lebih dari mati seribu kali.
Kamu meninggalkanku dalam peperangan, dalam keadaan mati, kaki buntung, dan perut robek-robek.
Dalam matiku, aku ingin bunuh diri, karena nyanyian-nyanyian kita selalu bersenandung di kepala, membentuk jaring-jaring yang semakin rumit. Terus menerus. Seperti sungai yang mengalir.

Di sungai itu, di tampuk cerminan muka, wajahmu tersenyum, bercahaya seperti biasa.
Kamu bicara bahwa kamu masih di sana, bersemayam di antara nada, abadi menjadi alter ego yang memiliki siklus rotasi di hati kita berdua.

Abadi sebagai alter ego.

 Di dunia paralel, kita berciuman, ciuman yang basah dengan air mata, abadi seperti pusaran, membentuk lubang hitam, melenyapkan seluruh angkasa.