Takut Kaya

Kegelisahan terbesar saya dalam mengelola bisnis adalah takut kaya.

Saya tidak akan mengkambinghitamkan bisnis saya untuk kuliah beberapa semester terahir yang porakporanda. Karena manajemen motivasi saya memang buruk sekali. Saya membuka toko aksesori dan barang unik di daerah kotamadya Yogyakarta bersama perempuan yang saya sayangi. Dan prospek pertumbuhannya cukup baik.
Lantas kenapa saya takut kaya?

Dalam hidup saya, saya tidak terlalu mengenal banyak orang. Tapi saya mengenal beberapa yang kaya.

Salah seorang darinya, sangat kaya, usianya sudah tua dan sering terserang penyakit batuk. Di senja itu, sebelum sembayang maghrib, beliau bercerita bahwa pada masa mudanya, beliau menghabiskan waktu untuk memperkaya diri sendiri. Setiap hari, hari demi hari, menit demi menit, pohon pikirannya digelayuti  sekawanan pikiran tentang bagaimana agar bisnisnya menghasilkan lebih banyak uang. Satu-satunya yang dia cari adalah uang. Uang menjadi tujuannya, menjadi Tuhannya. Ketika beliau memutuskan untuk pensiun, beliau berakhir dengan badan yang rapuh, istri dan anak-anak yang asing.



"Saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya cari di masa lalu, bahkan saya tidak pernah menikmati apa yang saya cari," ungkapnya.

Salah seorang yang saya kenal lainnya, juga sangat kaya, atau ingin terlihat kaya, entahlah. Usianya terbilang muda. Koleksi arloji dan kacamatanya tidak ada yang bernilai di bawah tiga juta. Saya melihatnya seperti jiwa rapuh yang bersembunyi dalam jubah harta. Tempramennya tinggi ketika usahanya terbelit masalah. Hidupnya gelisah. Gelisah bukan main.

Saya menonton di televisi. Orang-orang kaya sibuk memperkaya dirinya. Mereka melegitimasi hal-hal untuk memperkaya diri. Misalnya lewat politik yang harusnya mulya. Kerakusan seperti simbiote yang menguasai diri mereka tanpa sadar.

***

Ya, saya belum siap kaya. Saya belum siap menghadapi konsekuensi logis yang akan saya terima jika saya kaya. Karena memiliki harta yang terlampau banyak hanya membuat pikiran saya terbebani.

Lalu saya berpikir ulang. Agama yang saya pelajari sejak kecil, mengajarkan untuk berzakat.
Untuk apa berzakat?
Ketika sudah dewasa, saya baru bisa menjawab pertanyaan itu. Jawabannya, agar mengurangi kekayaan kita. Dalam arti lain, kita membuang kegelisahan-kegelisahan yang diakibatkan oleh harta bersama zakat kita. hal-hal tersebut membuat hati kita lebih murni. Kalaupun membayar zakat tidak cukup untuk membuat hartamu terasa berkurang, toh paling tidak, kamu merasa menjadi sosok yang lebih berguna.

Sudahkah kamu membayar zakat?