Cafe Empat Kota

Cafe bukan tempat favorit saya untuk mendudukkan pantat berjam-jam. Bukan. Saya bukan orang semacam itu kalau kamu mengenalku.

Tetapi, saya sudah mengunjungi banyak cafe di dalam hidup saya. Paling tidak, menurut  standar saya yang tidak terlalu gemar kongkow-kongkow. Saya pernah mengunjungi beberapa cafe di kota yang pernah saya singgahi. Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta.

Saya lebih menyukai tempat yang dilengkapi kursi dengan sandaran punggung, meja dengan tinggi yang pas, dan kalau boleh serakah, saya suka kursi dengan sandaran tangan. Satu lagi, tentu saja, colokan listrik. Sayangnya, kebanyakan cafe tidak memenuhi syarat seperti itu. Pemiliknya pasti akan punya strategi untuk tidak membiarkan orang-orang yang mampir hanya membeli secangkir kopi termurah dan nongkrong berjam-jam di sana. Tentu saja hal seperti itu akan menurunkan omset mereka.

Di cafe-cafe yang saya kunjungi di empat kota tersebut, terdapat banyak kesamaan. Maksud saya, barangkali, tempat ini yang paling sering diekspos oleh beberapa media kapitalis kurang bermutu seperti sinetron, film-film remaja, dan novel-novel yang terlanjur menye-menye. Atau sekali lagi, barangkali, mungkin orang-orang yang betah nongkrong di sini berjam-jam adalah penghasil ide-ide kapitalis semacam itu. Karena tempat ini yang mereka saksikan setiap hari.

Tempat ini dipenuhi bermacam-macam orang. Mulai dari pasangan kasmaran yang saling menatap dengan mata penuh api membara-bara di sana, dan hidung yang nyaris menempel. Entah apa maksudnya, saya tidak mengerti kenapa hal-hal privasi seperti kemesraan personal harus go public seperti saham perseroan yang pemiliknya nyaris terancam pailit.

Di cafe-cafe yang saya kunjungi juga sering kali dikunjungi lesbian, gay, sekelompok laki-laki yang kongkow menggunakan seragam bola, sampai yang matanya tidak sedetikpun lepas dari layar ponselnya. Kebanyakan dari mereka memenuhi paru-parunya dengan asap rokok dan berlomba-lomba memenuhi asbak yang disediakan pemilik cafe dengan puntung-puntung bekas bibir mereka. Barangkali beberapa sidik bibir wanita seksi bisa ditemukan di asbak-asbak itu.

Tentu saja, orang-orang di sini berbeda dengan yang nongkrongnya di masjid, garasi bandar narkoba, atau perpustakaan.

Kadang, tempat yang kamu sering kamu kunjungi mungkin saja membentuk bagaimana bentuk dirimu sekarang atau bagaimana cara kamu berpikir.

Selamat kepada kapitalisme yang sudah mengakar seperti virus.