CAFE ESSEN

Tampaknya sangat dingin di luar sana. Jalanan lengang kecuali beberapa orang yang masih mengantri di depan bilik ATM. Mereka mengenakan jas hujannya. Ini jam keenam hujan turun tanpa sejenak beristirahat. Jalanan aspal basah, sepi, lembab, dan redup.

Samar-samar aku melihat seorang tuna wisma memeluk anaknya sambil memeluk dirinya sendiri di depan toko yang pintu besi harmonikanya sudah tertutup. Ia berlindung dari hujan bersama anaknya dengan mengandalkan atap emperan toko yang begitu pendek.

Lisa mendekati mereka, memberikan sekotak roti daging, tersenyum sedikit, kemudian menjauh sambil mengangkat payung merah jambunya. Tuna wisma dan anaknya menunduk-nunduk sambil tersenyum bahagia. Lisa kembali masuk ke cafe. Suara derit pintu yang engselnya kurang oli terdengar berat sekali. Aku pura-pura mengelap meja.

"Apa lihat-lihat? naksir?!" kata Lisa pada Bima di meja kasir.

"Naksir? Kamu lupa aku gay?" kami bertiga terbahak kecil.

Lisa perempuan yang kurang feminim. Antingnya hanya satu di telinga kiri, matanya galak, bibirnya ungu seperti perokok berat pada umumnya. Rambutnya lurus sebahu. Payung merah jambu yang ia pakai tadi? Itu milik Bima. Bima seorang gay, atheis, atletis, tapi tidak terlampau melambai seperti bot pada umumnya. Ia tidak bisa lepas dari Blackberry yang sudah usang. Pinggiran karetnya harus segera dibawa ke tukang sol sepatu.

"Wisnu..." Seru Lisa. "Itu meja udah kinclong ya ampun... mau berapa lama kamu ngelap itu meja?"

Aku kagok. Ah, selalu saja begitu. Ketika aku melamun, badanku seperti tidak tersinkronisasi oleh otakku. Sayangnya aku tidak punya mode auto pilot.

"Bima, aku mau ke kamar mandi bentar. Kalau ada pelanggan tolong isi posku dulu ya,"

"Roger that... Siap sir!" katanya masih mengutak-atik blackberry-nya.

Ah, wajahku layu sekali di cermin. Tidak kurang tiga puluh enam jam mata ini belum memejam. Kapan-kapan akan kupertimbangkan mengganti kaca ini dengan cermin ajaib. Siapa tahu aku bisa bercakap-cakap pada cermin ini.

"Cermin-cermin di dinding, mana yang lebih penting antara esensi dan bentuk?"

Cermin diam, mengeluarkan palu besar, kemudian memecahkan dirinya sendiri. Entah karena  pertanyaan itu terlalu susah atau malah tidak ada gunanya. Kubasuh sebentar mukaku agar tak memikirkan berbagai macam hal yang diluar nalar. Ah, tapi kan manusia lebih menyukai absurdsi, kataku. Realitas hanya milik orang suci.

Kurasa pintu-pintu di cafe ini mesti dibenahi. Pintu kamar mandi cafe ini bahkan tidak ada kuncinya, kalau mau membukanya pun harus setengah diangkat.

Cafe ini kami bangun sendiri bertiga setelah lulus kuliah jurusan filsafat. Karena tidak mampu menggaji pegawai, kami melakukan semua operasional usahanya sendiri. Mulai dari mencuci piring, melayani tamu, membersihkan meja, mengatur keuangan dan pembukuan, sampai menghidangkan makanan dan minumannya sendiri. Tidak masalah. Kami sudah terbiasa untuk itu.

Terhenyak aku seketika memasuki dapur. Aku terperanjat hingga menjatuhkan sepiring acar di sudut meja. Lisa dan Bima jongkok di depan dua mayat. Mulut Lisa dan Bima penuh darah. Tangan mereka memegang pisau dapur yang biasa dipakai mengiris bawang.

"LISA? Bukankah itu tuna wisma dan anaknya yang tadi kamu beri makan di luar sana?!"

"Wisnu, kamu lupa kenapa kita dulu membangun Cafe Essen* ini?"

"Kita juga butuh makan.." Kata Bima meneruskan memereteli bagian-bagian tubuh yang dingin itu.

*Essen = makan (German)