WARNA EMAS LANGIT KIDUL

Ning nang ning gung...
Senja emas mekar di selatan
Ning nang ning gung...
Arakan awan jadi lautan
Bulan jadi cempaka
Habis hujan indah menghujam
Ning nang ning gung...
Habis ibarat..
Seperti surga jadinya..


Pikiranku bersilat puisi di dalam dirinya sendiri. Bukan suatu hal yang ganjil karena aku melakukannya hampir setiap berada di jalanan naik motor. Sekarang kau tau rahasiaku kenapa tidak pernah mengebut di jalanan.

Hampir habis enam sasi aku berdiam di Yogyakarta. Well, kemacetan Surabaya memang hanya bisa dikalahkan Yogyakarta ketika musim liburan seperti sekarang. Dan itu amat menyebalkan. Ketika tahun baru, jalanan dipenuh sesaki oleh mobil-mobil plat B yang merasa berkuasa, merasa orang kota lalu bisa parkir di sembarang tempat. F*ck you buat kalian.

Hmmm... Ternyata belum bisa dirubah hobiku yang menyendiri bersama buku dan komputer. Mereka sahabat baikku yang teramat setia mendengar dan memberiku cerita. Setiap ada yang menikam alam pikirku, mereka yang siap sedia jadi tempayan tempatku menuangkan segalanya.  Aku punya sahabat-sahabat baik di sini, mereka sangat luar biasa dan aku menyayangi mereka. Kecap, Indra, Hera, Pipin, Nining, Pika, Alan, Tito, Bayu, Pungki, Ulfa, Facul, dan orang-orang pengo lainnya. Tetapi, kesendirian adalah sesuatu yang lama kusinggahi. Tempat aku berlari dari dunia sejak zaman koloni ibu tiriku. Dan aku sangat nyaman dalam kesendirian.

Program Sarjana 1 yang kuambil hampir sudah satu semester. Dan banyak hal yang aku sadari dalam jangka waktu itu. Kau tau, aku seperti merasa tersesat. Umpama kapal kehilangan nahkoda dan kompasnya, aku limbung empat arah. Entah akan terjatuh atau tidak. Di novel-novel remaja dan film-film besar, sering salah seorang tokoh merupakan seniman yang tersesat diantara para ilmuwan karena keinginan orang tuanya. Karena seni, adalah pucuk-pucuk keindahan spiritualis bagi sebagian manusia. Seni menawarkan sesuatu yang lebih bebas, sesuatu yang lebih memabukkan.

Sebaliknya, aku merasa menjadi seorang ilmuwan yang tercekat diantara para seniman. Kampusku adalah kampus seni tertua, terbesar, dan terlengkap di asia tenggara. Di papan pariwisata di jalan menuju parangtritis (itu loh, yang berwarna hijau dan biasanya memberimu arah jalan dengan font berwarna putih), ISI ditulis sebagai salah satu kawasan parawisata spiritualitas/seni. Seniman-seniman besar lahir di sini. Kurang seni apa lagi?



Entahlah. Aku sampai kepada titik balik motivasi kuliah di waktu yang sangat salah. I feel... there's something not right. Adalah ketika aku kembali memeprtanyakan passion kuliahku sekali lagi. Aku berpikir terlalu empirik untuk ukuran mahasiswa seni. Rasa ingin tahuku (yang membuat rasanya jantungmu mau terbelah dua) deras meluncur ke arah yang berlawanan. Aku membeli buku-buku penelitian orang-orang tentang media (sampai kamarku jadi gudang buku), dan aku tidak membeli buku nirmana yang direkomendasikan oleh dosen terkait.

Aku ingin seperti bapakku.
Klise. ya. sangat klise.

Bapakku, adalah sebuah iktibar yang hidupnya menjadi model bagi konstruksi hidupku. Demi Tuhan, ini terjadi begitu saja, ibarat kau meneteskan madu ke piala cembung.

Dan rasanya sangat frustasi ketika harus mengakui aku belum bisa menjadi sehebat masa muda bapakku yang serba heroik. Waktu muda, bapakku mendapat penghargaan dari rektor UGM, kampusnya, karena kepiawaiannya di bidang tulis menulis. Sedang aku masih menjadi benalu yang sibuk sendiri dengan pertentangan konsep diri.

Bapakku bersahaja sampai masa tuanya. Kemeja-kemejanya sederhana, dan ia tampak gagah bukan karena kemejanya, tetapi karena kerendahhatiannya. Sedangkan aku, masih berkutat dengan kesombonganku dan ketika aku melawannya, nilai-nilai mata kuliahku malah melorot.

Aku sering, bila kurang kerjaan, sekedar bermotor ria tralala trilili melewati kampus UGM dan mengitari kompleksnya yang luas. Bukan kurang kerjaan juga sih, tetapi bila memandang sudut-sudut kampus UGM, aku seperti melihat sejarah perkara bapakku. Rasanya aku melihat bapakku duduk di sana, bersenda gurau kepada teman-temannya, mendiskusikan banyak hal, memikirkan banyak kejadian, dan merangkumnya di meja kamar. Atau jangan-jangan bapakku seperti aku yang bersahabat baik dengan kesendirian? Aku meringis-meringis sendiri mengingatnya.

Aku cinta kuliah di Yogya. Tetapi aku akan lebih mencintainya jika aku berkuliah di tempat yang sesuai denganku. Aku berasal dari SMK jurusan Broadcast, dan kuliah seni media rekam jurusan televisi dan film di Institut Seni Indonesia. Yeah, semua terdengar sempurna.... bila aku ingin jadi sutradara. Aku ingin jadi ilmuwan media! Cita-cita yang jarang kan? Pasti kelihatan sangat tampan kalau sejak TK, aku ditanyai "Dipa, mau jadi apa kalau sudah besar?" , dengan lantang aku menajawab "Ilmuwan Media".

Ibarat api dalam sekam, sekam itu bernama ilmu pengetahuan. Khususnya komunikasi. Aku pernah mencoba berkonsultasi dengan salah satu doseku lewat e-mail. Dan.... tak jauh berbeda, beliau menyarankan untuk mengkaji ulang studiku di ISI mumpung tahun pertama, bila memang passion milikku bukan disini.

Sebenarnya masih ada korelasinya sih antara praktis televisi dan teori komunikasi. Maka, aku mencoba mengimbanginya dengan berguru di luar (Tempat pelarian keduaku setelah buku). Ketika Rumah Sinema, sebuah organisasi inisiatif untuk pendidikan media, membuka Volunteer recrutment. Aku coba-coba mengirim CV-ku ke sana. Dan ternyata aku diterima.

Menyenangkan. Orang-orangnya lucu-lucu dan terpelajar. Mereka telah lama berkecimpung di dunia keilmuan media. Mereka sangat memenuhi syarat untuk kueksploitasi ilmunya. Mihihihi... :D

Aku bukan apa-apa di Rumah Sinema. Aku paling muda (semester satu bok) di sana. Meski waktu-waktu yang kuhabiskan di SMK mengajariku banyak hal, tapi mungki aku adalah yang paling minim pengetahuan di sini. Dan... seperti yang kusangka, aku diperlakukan sebagai seniman (ini kehormatan besar sebenarnya). Mereka belum tahu saja aku ini hanya kebetulan tersesat di sana.

Aku membantu mereka untuk orginizing seminar hasil riset tentang literasi iklan yang akan dilaksanakan di KPID Yogyakarta. Tugas pertamaku : menyebar Press release ke lima belas media massa di Yogyakarta. Kau tahu, letak media massa di Yogyakarta berjauh sebrang satu sama lain. Kecuali di daerah kridosono ke utara yang di sana berkumpul banyak kantor media massa. Dari yang paling utara (Radar Yogya) di jl. ring road utara 88,  paling timur, Yogyakarta tugu telvisi (Jogja TV) di jalan wonosari, dan paling barat (Bernas Jogja) di jl. IKIP PGRI. Wuaah... melelahkan sekali.

Tetapi ada enaknya tentu saja. Amplopnya ada logo KPID-nya. Kan keren banget tuh. Dan, aku menjadi manusia plat W yang mengetahui letak kantor 15 media massa di Yogyakarta.

Besok aku masih harus bertugas saat penyelenggaraan seminar di KPID Yogya. Aku masih ingat, ketika Bapakku masih menjabat komisioner KPID JATIM, aku tak pernah diajak-ajak ke kantornya. Hahaha... dasar Bapak. Lebih senang apa-apa sendiri. Tak jauh denganku.

Aku yakin dalam enam bulan terakhir Bapakku pasti sempat mengisi seminar di Jogja, tapi tidak memberitahuku. Terkesan kejam. Tapi aku sangat mengenalnya.

Hmm... besok disambung lagi ya ceritanya... Mau minum susu dulu (kata pak burjo : yang kanan apa yang kiri?)...