KEPADA MADAM SEMESTA

Dear Madam Semesta,

Hari ini suaraku sudah berat. Kumis-kumis tipis mulai bertumbuh jarang di daguku. Ini seperti yang Aku tidak sabarkan datang saat tinggi tubuhku tak lebih dari anak tangga ke lima, saat Tanteku menyuapiku dengan sabar bersama Kakakku sambil bermain di halaman belakang. Tatkala itu, Aku hanya memakai kotang dan celana dalam, mengambil enam siak langkah tiap lari-lari kecilku. Kakakku pun masih belum mengenal bedak, lipbalm, eyeshadow atau peralatan penganggun lainnya. Kakakku masih dalam fantasi anak-anak yang melihat bara sebagai pelangi. membungkus elegi dengan polos pias lugu fikir anak-anak.

Aku sudah dewasa(kah?). Bahkan Aku setiap Jum'at menatap cermin dengan senyum pongah sambil memegang sebilah alat cukur sederhana. Menepuk pipi tiga kali dan bergurat senyum simpul. Juga senyum sederhana. Aku tumbuh. Walau tanpa seorang Ibu. Madam semesta, sudah kuceritakan kan padamu, jika mayoritas manusia di muka dunia yang fana ini, mempunyai seorang Ibu sebagai matahari terbit di hidup mereka yang sombong. Yang berarti, matahari hanya sempat berpias cahya menerbit sebelas bulan di hidupku. Ya, Aku sempat berkutat pada fase menggenggam mosi betapa tidak adilnya Tuhan karena memberi giliran Ibuku beristirahat selamanya saat umurku masih sebelas bulan.



Madam semesta, Aku berermin langi. Masih dengan senyum pongah. Betapa cepatnya datang waktu ini. Dimana Aku dituntut oleh kehidupan untuk merangkai stigma yang baik, yang jujur, dan bertanggung jawab. Aku sudah besar. Dibalik senyum pongah itu, madam, dibalik angkuh senyumku yang membuat banyak orang terpingkal, dan juga jijik, terselip rasa malu yang amat dalam.

Betapa tidak. Aku lalai mendoakan Ibuku. Anak macam apa Aku ini? tumbuh sebagai penghujat cuaca dan remaja yang apatis luar biasa pada pemerintah. Menghabiskan sore dengan cangkir kopi penuh umpatan jka membaca berita tentang bajingan negara yang tega mengeluh ruangannya kecil. Lihat rakyat yang banyak ini. Boro-boro mengeluh ruang kantor sempit, makan saja susah.

Madam Semesta, Kau menangkap ribuan frekuensi doa dari para pendoa yang khidmat menutup mata sambil bermimpi bisa mendikte Tuhan.Berdoa tentang cinta monyet sekilat tanggal, tentang hutang yang tak kunjung berhenti tumbuh, atau tentang mandi uang. Kau lebih tau. Madam, Andalah ruang paling ruang untuk dicurhati. Anda tidak pernah memberi nasihat atau bahkan mendebat argumentasiku. Anda berkawan dengan pena dan kertas, sahabatku yang lain, sama seperti Anda, mereka pendengar yang baik, pemusnah angkara paling manjur.

Madam semesta, Aku ingin berubah. Bertransformasi menjadi tokoh protagonis yang baik hati di kehidupanku sendiri. Aku sudah merehabilitasi diriku untuk menutup lembar-lembar berwarna tentang seseorang yang sering kubicarakan. Ia sudah tenggelam dalam palung masa yang kuminta Anda untuk menjentik sekelitik agar Ia terpendam dalam-dalam, dikuburan malam yang kelam dihias beberapa lebam.

Ya, hatiku merasakan lebam. Tak bisa kunafikkan Dia membuat seluruh malamku setahun belakangan terasa sangat malam.Tak ada dua. Tapi sampai kapan Aku musti memancarkan pikiran-pikiran terpuruk karena cinta setengah mati? Aku merasa pikiranku itu Kau peluk, ya madam semesta, semesta memeluk gundah-gundahku dan membuatnya dua kali lebih berat. Kata oang di negeri sana, pikiran adalah frekuensi bersifat magnetis yang akan menarik pikiran-pikiran serupa yang dipancarkan orang di dunia. Sekarang, Aku harus mensugesti diri bahwa Anda, madam semesta, akan selalu berpihak pada orang-orang yang berimaji positif, optimis, penuh energi yang baik-baik.

UNAS, ya, UNAS, satu perang besar yang wibawanya berpendar luar biasa, perang yang membuat masjid ramai, yang membuat pabrik alkohol berpikir untuk gulung tikar, ya, benar Madam Semesta, Kau tak salah dengar, UNAS, dia akan datang berkunjung beberapa hari lagi. Aku mungkin tidak siap penuh. Belum bersenjatakan lengkap. Rasanya kurang etis jika Aku mengambinghitamkan orang lain. Tidak. Aku yang terlalu meremehkan. Betapa Aku terperangkap budaya negeriku, yang kata Bapak Mantan Wakil Presiden sebagai last minute culture. Hahaha. Betapa tidak nikmat menertawakan kebodohan diri sendiri.

Madam semesta, apa Kau mendengar pesan-pesanku kepada Tuhan? Iya, benar yang itu. Jangan beritahu siapa-siapa, ini rahasia antara Kita.
:)