BAGAIKAN RAMBUT BERSIMPUL MATI

  
KIM HAI WO NEKOA, aku memanggilnya he wo. Ia bukan sekedar kucing, bukan sekedar makhluk lucu berkaki empat. He Wo kuanggap sebagai saudara sekaligus sahabat karib. Setiap pukul lima pagi, He wo mengelus tanganku sambil mengeong manja, seperti membumikan kalimat-kalimat pembangun lelap dalam bahasanya. Tidak hanya itu, ia akan menjilati pipiku jika masih enggan bangkit dari pembaringan.


Di rumah, Aku juga tak ubahnya orang tua he wo. Aku yang memberi makan dan membuang kotorannya. Eits, jangan salah, He wo kucing yang pandai, dia tidak pernah membuang kotoran sembarangan. Dia selalu membuang kotoran di bak pasir yang sengaja aku sediakan. Saat lapar, Ia akan mengeong-ngeong dengan ancang-ancang delapann oktaf sambil menatap mataku dan menggulung kakiku, alangkah membikin gemas.

Ketika Aku tak di rumah, kisah kakak, He wo gemar memandangi jendela berlama-lama lantas sembunyi di bawah sofa, kemudian memandang jendela lagi. Saat Aku pulang, He wo seperti direbak euforia enam nyawa, berlari-lari ke arahku minta dielus. 

Kau pasti tak percaya jika kuberi cerita, dia sangat pintar main lempar kertas dan kejar kemoceng. Jika gumpulan kertas yang kubentuk jadi bola itu kulempar, maka He Wo akan mengejarnya dan membawakan balik kertas itu, berkali-kali, tapi Ia tak lantas durjana. Belum lagi ketika ketika aku menggoyang-goyang kemocing di udara, dia akan mengikuti dengan antusias, seperti ingin memberiku sebuah pertunjukan. Tak pernah absen kuberi elus saat dia melakukan hal lucu begitu.

Sempat Kakak iparku akan menjualnya karena Ia sekali, (sekali saja), buanmg kotoran tidak pada tempatnya. Tapi bagiku itu tak lebih karena dia kebanyakan makan, bukan karena tak pandai. Waktu itu, detik itu, ketika tahu He wo hendak dijual, Aku speechless , tak tertuang sebilahpun diksi untuk kuucap. Bahkan aku mereguk brown coffeeku dengan bergetar dibibir. Dadaku bagai digebuk gada. Aku menangis dua jam tak henti. Tak henti kawan. Aku memikirkan bagaimana jika aku bangun pukul lima pagi dan mendapati he wo tak ada disampingku.

Aku tak tahu juga bagaimana hambar dan menyakitkannya pulang sekolah tanpa ada eongan yang biasa ditujukan padaku dari segulung makhluk lucu itu. Sungguh hancur hatiku. Ini sama dengan jika adikmu hendak dibunuh dengan parang karatan, bukankah sakit kehilangan sesuatu yang dicintai?

Untung saja He wo urung dibuang ke cat traficking, andaikan itu ilegal. haha.

Mungkin dalam bahasanya, Ia juga mengungkapkan rasa sayangnya padaku, sebersih air mata yang kuperas ketika Ia hendak dijual. Aku juga kadang khawatir jika He wo sudah masuk masa puber. Banyak kucing liar mengincarnya, He wo tak ubahnya kembang desa, kucing tercantik satu komplek. Bagiku, He wo lebih cantik dari seluruh kucing yang pernah dilahirkan, bahkan mungkin jika ibu kucing memandang he wo, itu cukup membuatanya menyesal pernah melahirkan anaknya. Ingin punya anak sememesona hai wo.


Kucing ini juara satu diseluruh dunia, dia memenangkan hatiku. Aku dan he wo bagaikan rambut bersimpul mati.

21 Maret 2011,

Ketika tempat makanan he wo baru kuisi