Saya Ingin Hidup Seratus Zaman Lagi

Salah seorang yang saya anggap sebagai guru spiritual saya pernah memaparkan tentang konsep publik-privat kepada saya. Dan saya baru dapat memahami struktur esensinya bertahun-tahun setelahnya. Saya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempelajari sesuatu, well, i'm not a fast learner. Padahal, saya sangat ingin mempelajari banyak hal, mulai bursa efek, pemrograman, hubungan teori pavlov dengan kegoblokan orang zaman sekarang, membuat alternatif rating nielsen, menulis buku, dan membaca semua buku yang ada di gramedia.

Sayangnya, untuk menjadi expert di satu bidang saja membutuhkan waktu yang sangat lama. Sedangkan saya ingin menjadi expert di banyak sekali bidang. Saya ingin mengutuki siklus hidup manusia yang sangat singkat.

Kita melewati kesakitan-kesakitan besar dalam hidup seperti puber, sunat, kesandung pas kelingking kaki, disakiti orang terdekat, dan segala proses sosial untuk berdaptasi dalam kehidupan sosial. Untuk mencapai kematangan jiwa yang cukup, setidaknya membutuhkan 17-25tahun.  Di fase ini, kita dituntut untuk belajar dan mencari pengalaman.

Setelah kematangan jasmani dan rohani sudah cukup, manusia mendapat tuntutan lain. Bekerja, menikah, punya anak, ikut rapat bapak-bapak, menjadi panitia lomba 17 agustus, mesam-mesem sambil bilang monggo ke tetangga kanan-kiri, dan segala basa-basi naif lainnya.
Tuntutan sosial tak akan pernah selesai. Semakin maju zaman dan teknologi, semakin rumit kebutuhan hidup kita, semakin sedikit waktu yang kita miliki untuk dinikmati.

Lalu apa? Kita bekerja seumur hidup kita, membayar asuransi, jaminan pensiun, dll untuk mempersiapkan masa tua dan pemakaman kita. Sebegitu singkatnya.

Waktu kecil, saya mengidolakan naruto dan harry potter seperti anak-anak pada umumnya. Namun, di usia 23, saya merasa voldemort dan orochimaru jauh lebih masuk akal. Mereka mencari ilmu untuk bisa hidup selamanya, supaya punya waktu yang lebih dari cukup untuk menjadi expert di bidangnya.   What a good deal. At least mereka punya prinsip yang bukan berdasarkan desakan sosial kanan-kiri.

Guru spiritual saya berpendapat, kedewasaan sempurna didapat ketika seseorang mampu membedakan mana yang publik dan mana yang privat. Mana yang bisa dipublikasi secara umum, mana yang tidak. Mana yang opini kita, mana yang fakta.

berapa rumah tangga harus berantakan karena tidak memahami asas ini? Bahkan media masa di negeri kita pun betul-betul harus malu jika membaca hal ini. Ini menunjukkan media kita belum dewasa. Banyak ABG yang membuat status facebook, tweet, dan postingan instagram dengan konten yang sebetulnya sangat privat. Mulai foto selfienya pas bangun tidur, keadaan hatinya, emosinya, apa yamg dia makan.

Menurut saya, media social tidak bisa disalahka. Atas fenomena ini. Media social hanya menunjukkan bentuk manusia yang sebenarnya. Mereka hanya melihat peluang memediasi bentuk emosi manusia yang sebenarnya.

Saya percaya, hal tersebut didorong oleh kebutuhan mendasar emosi manusia : eksistensi. Manusia seperti sel mikroorganisme sederhana lainnya. Ingin mendominasi dan berpengaruh terhadap sel-sel lainnya. Dalam hal ini berbentuk keinginan yang merasa ingin dianggap ada dan berharga. Dan menjadi norak di media social adalah proses memahami konsep eksistensi tersebut.

untuk yang sudah paham konsep bahwa eksistensi adalah kebutuhan dasar, biasanya akan mencurahkannya ke bentuk yang lebih bermakna : melukis, menyanyi, bersedekah, mengutusi organisasi masyarakat. Bukan mengungkap hal-hal privat yang sangat tidak pentimg untuk dipublikasi :

"Ngantuk nich, nggak ada orang di rumah"
Lengkap dengan foto pake make up, kaos ketat, belahan dada, alis lukis, dempul 5cm.
Saya yakim sepulun tahun lagi pastindia misuh-misuh merasa berdosa pernah senorak itu.

Mungkin saat ini saya masuh norak menurut orang lain, entahlah. Buktinya saya menuangkan pikiran saya di sini. Meski nggak privat-privat amat.



Salam
2015




































Comments