KITA TAK BUTUH TUMBUH DEWASA UNTUK MENGERTI MAKNA CAHAYA

Pada suatu makan malam, aku pernah berkata kepadamu. Bahwa umur manusia tidak akan pernah cukup untuk belajar dewasa. Kita butuh setidaknya dua ratus lima puluh tahun untuk benar-benar mengerti kedewasaan sejati. Karena tidak mudah membunuh anak kecil yang merajuk di dalam diri kita. Sehari aku menajamkan tekad untuk menjadi dewasa, besoknya aku ingin menjadi ksatria jedi seperti Obi Wan Kanobi setelah menonton Star Wars secara maraton.

Tidak. Kita tidak perlu tumbuh dewasa untuk mengerti makna cahaya.
Kita bisa saling mencintai dengan anak-anak di dalam tubuh dewasa kita. Kita tahu makna cahaya. Sederhana. Seperti lampu teras rumahmu yang jika musim penghujan datang jadi rebutan laron setiap matahari terbenam. Tidak perlu menjadi matahari untuk menyinari. Cukup kita menjadi lampu teras yang menerangi pekarangan. 

Seperti lampu teras rumahmu, sayang. 
Terkadang habis daya. Redup dibuatnya. Jika tak kunjung terang, biasanya tak lama kemudian mampus cahayanya. Jika lampu terasmu tak lagi bersinar, apakah kamu harus pindah rumah? Tidak sayang, kamu tinggal memintaku untuk mengganti bola lampunya. 

Tidak jauh berbeda dengan pertengkaran kita.
Kita hanya perlu baik-baik bicara. Tidak perlu mencari rumah lain untuk hatimu. Tinggal kita nyalakan lagi cahaya-cahaya yang baru.
Kita hanya perlu baik-baik bicara. Seperti pada suatu makan malam.

Cahaya di dalam diri kita bukan yang maha terang.
Tetapi kita berdua punya cukup cahaya untuk saling menerangi satu sama lain. Biar terang tenggelam. Bukankah begitu revolusi terjadi supaya dunia terus berjalan?

Pada suatu makan malam, kita berbincang.
Dan kita memutuskan untuk saling mencintai dengan anak-anak yang tak pernah tumbuh dewasa di dalam diri kita. Karena kira berdua paham, tidak perlu tumbuh dewasa untuk mengerti makna cahaya.

Comments