EXTREMELY GIANT SHIT CALLED WORLD

1. Pabrik kebanggan

Zaman sekarang, anak-anak playgroup berusia di bawah lima tahun, dipaksa mencerna pelajaran-pelajaran kognitif tiga tahun lebih awal dari seharusnya. Orang tuanya akan bangga bukan kepalang jika tamu yang datang ke rumah menyaksikan anaknya hapal perkalian sembilan. Atau anak tetangganya tak sepintar anaknya. Waktu bermain mereka dipangkas rata untuk belajar, belajar, dan belajar. Bahkan mereka belum paham apa yang mereka pelajari. Sikap ambisius extreme telah ditanamkan dalam dosis tinggi sejak usia yang terlampau dini. Setiap kompetisi harus dimenangi dengan serius. Sehingga membunuh nilai kompetisi itu sendiri yang sedianya untuk anak-anak. Semuanya dilegitimasi sebagai "Membanggakan orang tua". Yang bagi saya, itu tak ubahnya memprogram anaknya jadi pabrik kebanggaan meski dengan mengesampingkan hak-hak bermain anak-anak.

2. Marah itu sayang ? what the fucking fuck?!

Saat anak-anak yang masih bayi / balita terjatuh, orang tuanya langsung bilang "Uh! Lantainya nakal! Pukul Aja!". Ya, saya banyak menemui orang tua super idiot seperti itu. Maksudnya biar si balita tidak menangis, tapi yang diserap si balita itu hanyalah "Jika kamu terjatuh, salahkan orang lain!". 

Banyak orang tua pemarah yang sangat gemar memarahi anaknya punya pledoi "Kalau orang tua marah, tandanya sayang," . Sumpah, itu statement yang sangat konyol. Bagi saya, memarahi anak kecil hanya akan mengajari mereka untuk marah. Dan marah sama sekali bukan berarti sayang. Marah adalah kondisi ketika seseorang tidak mampu mengontrol orang lain untuk menciptakan situasi yang dirinya kehendaki. Marah hanya efek dari rendahnya tingkat kemampuan kontrol diri seseorang. Marah sama sekali bukan berarti sayang. Marah kepada anak hanyalah efek dari kerendahan tingkat persuasi dan kesabaran di tingkat yang paling rendahan.

3.



Saya sering bertanya-tanya sendiri. Apa yang sesungguhnya diajarkan sekolah kepada muridnya?
Jawabannya adalah : Untuk lulus ujian.

Kenapa pendidikan hanya tentang statistik angka dan abjad?
Tentang grafik tingkat kelulusan dan peringkat?
Kenapa siswa harus pakai seragam?

Jawabannya sederhana. Mereka disiapkan untuk menjadi pegawai yang seragam. Kreatifitasnya dibatasi agar lebih mudah dikontrol oleh atasan. Otaknya diisi dengan "Kalau lulus mau kerja apa?" , bukan "Apa yang akan kamu lakukan kalau sudah lulus?".

Gagasan umum dikonstruksi untuk menganggap keren orang-orang dengan kantor, berdasi, dan memiliki slip gaji. Bukan orang-orang dengan celana kolor, santai-santai, dan memberi slip gaji.

Orang tua dipaksa percaya bahwa cara terbaik membentuk anak adalah menduplikasi diri mereka ke anak-anaknya.

4.

Di bangku kuliah, saya semakin terkesima. Kebanyakan kelas kuliahnya seakan-akan didesain dengan sengaja untuk menghambat potensi elaborasi orisinalitas gagasan. Semuanya diarahkan dan dibentuk paksa untuk selaras dan sebentuk dengan konstruksi ide yang sudah ada. Beberapa pengajar menerapkan standar-standar yang bagi saya tidak masuk akal. Yang terpintar adalah yang berhasil mencari muka dan meneruskan cara berpikir konvensional pengajarnya, yang berhasil mengulangi instruksi paling persis.

Meski beberapa pengajar lain bagi saya sangat kompeten dan menerapkan standar yang lebih mengelaborasi kreatifitas.

Kuliah seperti menjadi bagian kecil dari budaya dan jebakan konstruksi sosial. Kebanyakan mahasiswa bahkan sama-sama paham dan menganggap kuliah itu proses kehidupan yang harus dilewati dengan embel-embel gelar. Tapi banyak yang bertahan dan meneruskan. Beberapa cukup tolol untuk merasa lebih pintar dari yang lain karena IP-nya lebih tinggi.

5.

Ketika sebuah negara memiliki stok tenaga kerja yang overload , sedangkan akademisinya menganggap wirasuaha adalah jebakan ideologi, masalah ini akan terus bergulir sampai ribuan tahun ke depan. Wanna bet?

6.

Saya punya tetangga sebelah yang ke mana-mana memakai celana 3 / 4 (cingkrang) dan istrinya bercadar. Mbah kontrakan mengusir halus dengan alasan mau memakai rumahnya untuk dirinya sendiri. Padahal, di belakangnya mbah kontrakan bercerita kepada saya, kalau dia merasa takut dengan orang bercadar dan cingkrang. Tetangga saya itu kabarnya sudah mencoba mencari kontrakan lain dan 3 kali ditolak dengan alasan yang sama.
Saya merasa dunia ini sudah sakit. Tatoan salah, menuruti perintah agama yang mereka punya dasar juga salah (cingkrang itu menuruti larangan isbal dalam islam).
Konstruksi sosial yang sudah ada sudah sakit keras. Apakah cingkrang lalu dianggap teroris? Apakah karena bertato lalu mereka otomatis berprofesi sebagai perampok?