SERENADE KAKI-KAKI WAKTU

Mendengar 'waktu' dapat berjalan, aku membayangkan kaki-kakinya yang jenjang dan kuat seperti kuda. 'Waktu' berlari, berlalu, dan bergerak begitu cepat. Aku seperti diperdengarkan serenade merdu tentang simfoni maha megah berisi nada-nada beritme cepat. Seakan aku mendengarnya dengan telingaku sendiri. Aku mengenal 'waktu', aku mengetahuinya, tapi aku tidak pernah dapat memegang dan menyentuh 'waktu'. Mungkin kami dapat lebih akrab setelah berjabat tangan.

Kau tahu apa yang dilakukan tuan 'waktu' kepada bapakku?
Sulit diterjemahkan, dan aku benci membacanya. Bapak sudah ompong, gigi depannya sudah banyak yang tanggal, gigi-gigi gerahamnya semakin kesepian, dan tubuhnya sudah sering linu. Aku tidak begitu yakin, tapi kutebak rambut bapak sudah banyak ditumbuhi uban.

Hampir empat tahun aku merdeka dari wanita yang dinikahi bapak 14 tahun yang lalu. Aku masih mengingat raut dan rupa bapak sebelum aku melarikan diri dari rumah yang seakan penjara itu (sudah kubilang sebelumnya, hubunganku dan ibu tiriku tak lebih seperti penjahat dan sipir penjara). Raut muka bapak masih gagah  dan berwibawa. Statusnya sebagai dosen magister selalu lah membuat wibawanya berlipat. Air wajahnya yang rendah hati belumlah banyak dikunjungi garis-garis penuaan. Lipatan di sudut matanya hanya terlihat jelas ketika ia sedang tersenyum. Di usianya yang kepala empat, ia masihlah seorang bapak yang gagah.

Tetapi begitulah 'waktu' bekerja. 'Waktu' bertindak sesukanya, tak kenal adab, dan lagi kebal hukum. Dengan cepat, bapak telah menua. Nyaris kepala lima usianya. Dalam empat tahun, banyak hal terjadi. Dan kita tidak dapat membayangkan betapa cepat 'waktu' berlari dengan segala nada yang dapat ia mainkan dengan kaki-kakinya.

Bapak sudah ompong. Begitu lekasnya. 'Waktu' dapat berlari sederas yang ia mau, tetapi kita hanya dapat terjebak dengan konsensus, budaya, dan hal-hal yang sudah diatur berlantun-lantun sejak jaman embah moyangmu. Kita tidak dapat menentukan 'benar' dan 'salah' dengan mutlak karena semuanya hanyalah sebuah konstruksi yang disepakati dalam waktu lama.

Terlepas benar atau salah, mendengar bapak mulai ompong membuatku merasa menjadi seorang pendosa. Aku malu menjadi aku. Aku mulai menghujati ke-akuanku. Aku merasa begitu malunya terhadap cermin dan ragam buku di rak buku. Aku sangat malu menjadi manusia berusia dua puluh tahun yang masih merepotkan bapak. Mendengar bapak menua, aku merasa 'waktu' telah menamparku sekeras yang ia bisa. Betapa banyaknya waktu yang aku buang selama ini. dua puluh tahun aku hidup, tak sekalipun aku memeluk bapak, atau mengucapkan kata-kata manis yang menentramkan jiwanya. Aku masih saja menjadi seorang anak yang menyalahkan pernikahannya dan memikirkan betapa hancurnya masa kecilku. Bagaimana perasaan bapak yang berada di posisi yang serba salah?

Bapak bukanlah seorang penuntut ulung. Masih sangat ingat di otakku, di rumah kami yang dulu belum dibangun tingkat dua, di kamarku bersama kakak dan tanteku, aku menanti bapak pulang dari pengambilan rapor pertamaku dengan gelisah , caturwulan satu di kelas satu sekolah dasar. Bapak pulang dengan setelan batiknya yang necis. Belumlah ia menikah lagi waktu itu. Masih menjadi duda berusia dua puluh delapan tahun, dosen yang sedang naik daun. Bapak pulang dengan wajah tenang. Ia membawakanku buku rapor warna hijau. Saat itu aku menangis meraung-raung karena aku hanya mendapat ranking 5 di kelas. Bapak tidak marah, setelah berganti pakaian, bapak bilang kepadaku bahwa ranking 5 sudah bagus. Aku menangis semakin keras. Aku hanya dapat menangis dengan sangat keras waktu itu.

Bapak tidak tahu, bahwa aku sangat ingin mendapat ranking satu. Karena aku pikir bapak akan sangat bangga jika aku mendapat ranking 1. Aku hanya ingin membuktikan pada bapak bahwa aku anak yang bisa dibanggakan. Dan aku masih mengingat rahasiaku itu sampai sekarang. Jika mengingatnya, kakiku gemetar.

Saat aku memutuskan minggat dari rumah, aku telah mencapai banyak hal. Aku lulus dengan predikat no.2 di jurusan saat SMK. Saat kuliah, tiga kali Indeks Prestasiku menajdi salah satu yang terbaik di jurusan pada semester 4, mendapat 3 beasiswa, menjuarai beberapa festival film kecil, dan beberapa kali masuk koran. Betapa bodohnya aku. Aku melakukannya sebagai ajang pembuktian kepada bapak. Tetapi aku melupakan sebuah hal kecil : Bapak tidak pernah sekali pun menuntut apa-apa.
Aku melupakan inti dari semuanya.
Aku harusnya dihukum karena kadang merasa yatim piatu.

Bapak tidak pernah mencoba untuk tampil sebagai pahlawan. Lebih dari itu, bapak melakukan hal-hal heroik dalam sunyi. Seperti anak lainnya, bapak akan selalu menjadi super hero.

Taukah kamu, aku seperti orang dungu dengan asbak penuh menulis hal-hal ini. Mungkin aku akan memesan secangkir kopi lagi.