KERINDUAN RINGKIH YANG MENYUSUN DIRI MEREKA SENDIRI

Di meja tempat aku sering memikirkan hal-hal bodoh
 perihal kerikil trotoar yang piatu,


Untuk serpihan kenangan yang sekali lagi gagal dikembalikan,

Hei kenangan. Aku sangat mengenali pandangan runcing dan kemampuanmu bersembunyi yang sederas kijang. Kamu dapat bersembunyi, menyapa, dan mereplikasi diri semaumu. Aku memuliakanmu karena kamu adalah semacam energi yang selalu membuatku hidup dalam beberapa pengertian. Bukan hanya kepadaku, kenangan. Kamu membuat seluruh manusia memiliki alasan untuk bertahan hidup, untuk bergerak, berlarian, duduk terdiam dan membuat puisi cinta kemudian. Kamu membuat seluruh umat adam punya sesuatu untuk direnung dan digubah-gubah. Kamu membuat banyak orang menangis. Apa itu buruk? Sebuah penelitian mengatakan kalau mengeluarkan air mata itu memproduksi hormon endormofin yang membuat kita merasa lebih tenang dan lega. Kadang menangis membuatku ketagihan jika kau tiba-tiba datang dan hinggap memelukku dari belakang.

Aku memang tampak sangat dungu dengan tanpa alasan menulis surat kepada objek yang bukan manusia dan bukan sesuatu yang dapat diidentifikasi dengan alat barcode supermarket. Kenangan, masih lekat di pelipisku waktu-waktu di mana bangun pukul enam pagi bukanlah sesuatu yang ilegal seperti sekarang. Aku harus bangun pagi-pagi karena terlambat enam belas menit saja jalanan surabaya sudah sangat macet. 

***

Kenangan, jangan-jangan kamu lupa kalau kamu dan puisi adalah saudara kembar yang saling melupakan. 

Dan saya juga melupakan cita-cita kecil saya, yaitu hidup sederhana dan menulis seumur hidup perihal entah untuk dibaca sendiri. Saya bukan raja kata-kata, tulisan saya akan ditolak surat kabar pagi jika saya nekat mengirim beberapa. Karena saya bukan seorang yang menulis untuk memenuhi passion selera baca orang lain. Saya sering menulis untukmu, kenangan. Saya ingin menulis banyak perihalmu sebelum menulis tentangmu termasuk hal yang ilegal. Sejak umur tujuh tahun, hidupku seperti dipasung di bagian kaki dengan telapak tangan yang dipaku ke tembok. 

Itu alasan kecilku menyembunyikan seseorang yang sangat pendiam di dalam sosok yang sering dihina.  

***

Kenangan, aku sering menyesal mengapa kamu bersekongkol dengan takdir dan alam semesta untuk sama sekali tidak memunculkan gambar-gambar perihal wajah ibu di dalam memori kepalaku. Kenapa ibuku harus berpindah dimensi dan jasadnya dikubur di saat usiaku masih belum mampu mereplikasi informasi-informasi dari panca indera menjadi kamu, kenangan. Sebelas bulan bukan usia yang tepat untuk menjadi seorang pengenang yang baik.

Hei, kalau mengingat-ingat lagi bagaimana ibu tiri dan saudara-saudaranya memperlakukanku, atau bagaimana kata-kata mereka lahir ketika membicarakan almarhumah ibuku, rasanya aku ingin membunuhmu, kenangan. Diksi yang ada di kamus besar bahasa indonesia selalu belum mampu menggambarkan bagaimana pedih dan nistanya. Mengingat-ingatnya selalu membuatku ingin menulis hal-hal jahat, membanting sesuatu, menulis naskah film yang kejam, atau melukis dengan warna-warna kelam. 

***

Kenangan, jangan lupakan lagi, bahwa kau dan puisi adalah saudara kembar yang saling melupakan.


Aku
yang dipasungmu