DIALOG KESUNYIAN

"Selamat pagi, sunyi..." lirihku tanpa menoleh.
Ia datang. Tersandar enam belas detik di tepian pintu sebelum mengeluarkan seluruh isi perutnya. Muntahnya merupa tujuh warna, persis pelangi. Lebih harum dari pinggiran roti itali. Tapi muntah si sunyi terlalu pedih dibaui. Manis, tapi pedih. Begitulah kenangan-kenangan masa lalu yang dimuntahkan si sunyi.

"Berhenti membohongi dirimu sendiri..." kata si sunyi terkapar, sekarat.

"Aku tidak membohongi siapa-siapa," bantahku. Sekali lagi tanpa menoleh.

"Kamu masih terjebak dengan kenangan,"

"Itu bukan jebakan. Itu catatan. Supaya kesalahan-kesalahan bodoh tidak terjadi lagi," kataku mulai naik pitam. Menutup buku yang sedari tadi tidak benar-benar kubaca. "Dan kamu baru saja memuntahkan semuanya," tambahku.

"Naif sekali," si sunyi menyindir, tertawa. Dengan tawa yang sungguh melukai.

"Sunyi, aku sudah benar-benar tidak membutuhkanmu. Aku memiliki kehidupan yang kuimpikan. Pergi saja sana. Muntah kenanganmu mengotori lantai kamarku,"

"Hahaha...  hahahaaaa...." ia terpingkal. Tapi air mata keluar dari telinganya. Ia menangis melalui pendengarannya.

"Suatu saat kamu akan mengerti kenapa kamu sangat membutuhkanku, seperti yang sudah terbiasa kamu butuhkan," ia pergi.

Kemudian pagi kembali sunyi seperti sedianya.