BINTANG KECIL DI SEMPAKNYA YOCKI

Saat itu aku berumur tujuh tahun. Masih ingusan, dan belum disunat. Rambutku belah pinggir klimis seperti kepala desa mau tambah bini. Yang aku masih ingat, hari itu hari selasa. Aku memakai seragam olahraga berwarna biru laut dari bahan katun. Kelas pengap oleh bau keringat yang menguasai ruangan. Pelajaran olahraga selalu menjadi pelajaran favorit kami karena setelah senam basa-basi, kami bisa bermain bola sambil tertawa-tawa di halaman parkir SD yang sedianya terlampau sempit untuk bermain bola. Gawangnya saja dibatasi menggunakan sepatu atau batu bata.

Di kelas, kami berganti baju di kelas. Kawan-kawan perempuan lebih memilih ganti baju di kamar mandi. Ya, namanya saja wanita, sejak kecil sudah menuhankan privasi. Kadang kami suka iseng mengintip mereka berganti baju sambil berlari-lari kalau ada gelagat ketahuan.

Saat itu teman sebangkuku bernama Yocki. Rambutnya keriting dan lidahnya bisa dipakai untuk menyentuh hidungnya sendiri. Dia polos, ramah, dan punya adik yang cantik. Kami teman sebangku, satu antar jemput, dan rumah kami masih satu perumahan meski berbeda komplek.

Tidak sengaja celana olahraga Yocki melorot sedikit dan celana dalamnya kelihatan. Celanda dalamnya warna putih bermotif bintang-bintang. Aku yang melihatnya sontak tertawa dan menyanyi lagu bintang kecil keras-keras.

"Bintang kecil, di sempaknya Yocki..."

Satu kelas malah terbahak bagai landak sekarat. Ada yang tertawa guling-guling, ada yang tertawa sambil kayang, ada yang muntah-muntah, ada yang tertawa sambil main lompat tali. Satu kelas berubah menjadi kontes tertawa paling keras.



Tiba-tiba Toriq, temanku yang lain (sebenarnya dia cukup tampan kalau saja air liurnya tidak berceceran dimana-mana), mengkonfrontasi dengan bergumam keras,

"Dipa pengen bikin Yocki nangis, nggak baik!"

Aku merasa diadu domba, aku cuma bercanda, aku tidak bersalah. Dia malah melontarkan lagi kalimat-kalimat konfrontatif lainnya. Yocki sahabatku. Bagaimana kalau aku kehilangan dia gara-gara konfrontasinya?

Aku membentak Toriq.
Toriq membentakku.
Kami berkelahi.

Tidak banyak bungkam aku mendorong pundaknya. Dia balas mencakarku. Kami berkelahi sampai tangga. Saling cakar, saling hardik, saling dorong.
Bulek penjaga kantin menangkap basah kami berkelahi dan membawa kami ke ruang kepala sekolah. Punya hak apa dia membawa kami ke ruang kepala sekolah? Keteknya saja bau sambel petis.
(saat dewasa aku baru mengerti bahwa ketek yang bau sambel petis tidak ada sangkut pautnya dengan pantas dan tidak pantasnya mengadukan kami kepada kepala sekolah)

Kepala sekolah saat itu gemuk badannya. Ia berkali-kali membenarkan kacamatanya sambil memandangi aku dan Toriq bergantian.

"Kalian berkelahi?" tanyanya kalem seperti seorang psikiater handal.

"Dia yang mulai!"
"Enggak! Kamu yang mulai!"
"Kamu ngadu domba aku sama Yocki soalnya kamu nggak punya teman! Ilermu kemana-mana!"
"Kamu yang ngejek-ngejek dia duluan"

"Sssst.." Kepala sekolah bersingsut. "Berkelahi itu tidak baik, jangan diulangi. Kalian boleh keluar"

Begitu saja. Semudah itu kah masuk kantor kepala sekolah? Kukira seperti neraka. Desas-desus seperti neraka.

Kemudian aku masuk mobil antar jemput. Aku duduk di sebelah Yocki. Yocki bertanya kenapa.
Aku diam saja.
Keesokannya, semua berjalan seperti tidak terjadi apa-apa.

Ah, anak-anak.