RINDU IBU

Jika orang-orang pada umumnya memiliki ibu sebagai matahari terbit dihidup mereka, maka matahari hanya sebelas bulan terbit di hatiku. Bahkan Aku belum sempat bisa menyebut namanya sembari bersandar di bahu Beliau. Tidak tahu seperti apa rasa dicup-cup seorang Ibu ketika air mata menitih. Apa rasanya selembut awan? Semanis madu? Yang pasti Aku iri pada semua orang. Saat Aku TK, Aku selalu membisu ketika teman-teman membicarakan Ibu masing-masing. Mulai dari kepandaian memasak ibu mereka hingga kebaikan Ibu mereka membelikan playstation diulang tahun mereka.

Aku terpaku mendengar nama tuhan berhembus dari surau-surau mushola dan masjid diluar sana. Merdu bukan buatan. Yang belakangan Aku tahu jika kemerduan itu berasal dari kaset rekaman orang arab yang diperdengarkan lewat pengeras suara. Aku malu pada Tuhan karena telah lalai berdoa  untuk Ibuku. Bahkan Aku belum sempat mengenal Ibuku karena masih terlalu ranum untuk merekam memoar tentang Beliau. Tapi Aku rindu. Kedengaran aneh kan? Aku merindu seseorang yang bahkan Aku belum mengenalnya. 



Aku lahir 16 Oktober 1992 dan Ibuku terenggut nyawanya oleh Leukemia brengsek pada 2 Oktober 1993. Seumur hidup, Aku belum pernah diberi ucapan selamat ulang tahun oleh Ibuku barang sekali. Bisakah Kau membacanya? Barang sekali! Tak pelak Aku selalu saja marah ketika melihat karib tak hormat pada Ibunya. Walau hanya mendengar teman membentak "AH!" pada Ibu mereka, hatiku seperti dirajam tombak empat mata rasanya. Sakit tak terbandingkan oleh digilas kontener sekalipun.

Jika Ibu masih hidup, ingin kuhadiahi makanan kesukaannya saat malam minggu dengan uangku. Ingin Aku beri cium tangan paling hormat yang bisa diberikan oleh seorang anak. Ingin Aku meminta tolong beliau menyimakku mengaji Qur'an ketika fajar, selepas sembahyang subuh. 

Jika Ibu masih hidup, ingin Aku membanggakan beliau lewat karya dan menjadikan tiap prestasi sebagai persembahan untuk beliau. Ingin Aku kenalkan teman-teman dekatku, Beby, Evel, Abyan, karib-karib dari SEAMOLEC dan lainnya. Tersipu ketika mungkin Evel mencium tangan beliau. Itu yang Aku pikirkan. Saat memikirkan segala suatu tentang Ibu, dengan mudah Aku membikin barang empat bait puisi untuk Ibu. Terdiam dalam-dalam.

Jika Ibu masih hidup, ingin kurengkuh dunia untuk Ibu. Ingin kuhajikan beliau ketika hatinya dipanggil-panggil pusaran ka'bah. Cintaku pada surga Ibu tak akan dapat kugadai dengan kata. Ketika berbuat baik, Aku tak berpikir surga, Aku berpikir Ibu. Apakah beliau baik-baik saja disana. 

Makam Ibuku beratus kilo jaraknya. Mungkin ribu. Aku di Surabaya dan makam Ibu ada di Bangka. Aku belum pernah kesana. Permintaanku tak pernah diindahkan oleh Ibu tiriku. Dan Bapak selalu bilang, "Bilang Mama sana,". Hatiku ringkih rasanya. Tak tahukah Bapak betapa mencabiknya diksi seperti itu.

Bapakku mengajariku mencintai kata. Tapi Beliau tak lebih dari sepahat patung liat ketika bicara tentang Ibu.

Foto Ibuku, medium close up komposisinya. Foto itu kuambil dari Album berukir sulur emas yang melingkar elok walau sudah termakan lembab. Foto itu, biasa kupajang di kamar tamu, agar Aku dapat memandanginya sambil bercermin setiap habis mandi dan hendak sekolah.  Tapi selalu enyah ketika kulihat lagi. Ada dirak, tapi tertelungkup. Tak terpajang. Yang belakangan Aku sangat amat meyakini  Mama tiriku yang berperilaku sedemikian. 

"Yah, itu kan orang yang sudah meninggal, menurut agama, foto itu nggak boleh dipajang, ditempeli setan," 

Kata-kata Mama tiriku itu berdesing sekali-sekali di telingaku, menembus uluh hati hingga rasanya tenggorokanku disiram besi panas cair. Memang Aku bisa apa. Yang penting jangan sekali-sekali berani membakar foto Ibuku, karena Aku tak segan membakar orang yang berani melakukan hal hina seperti itu.

Sekarang, Aku benar-benar ingin terbang ke Pangkal Pinang Bangka dan mengunjungi tempat pembaringan beliau. Disana, Aku akan memugar nisannya dan menabur bunga. Akan kudoakan Al-fatiha menghadap barat. Tak akan kutangisi makam beliau karena aku bisa melakukannya bahkan di mana saja bahkan di kutub utara. kulakukan setiap hari. Aku menangisi beliau setiap hari dalam hati. Kadang berderai, kadang tanpa air mata. Yang pasti dadaku selalu sesak.

Aku akan selalu mendoakan Ibu ditiap abjad doaku, ditiap depa langkahku, walau mungkin itu bisa jadi satu-satunya wujud bakti yang dapat kuperbuat.



Surabaya, 17 Februari 2011,
Ketika senja mengundang malam