SENANDUNG HUJAN

Inilah Indonesia. Negeri dengan ratusan ribu pulau, beragam suku bangsa dan jutaan situs porno. Keberegaman bukanlah hal baru disini. Soal arah kiblat saja gontok-gonto'an, apalagi kalau sudah menyangkut duit, pasti negeri ini dipeluk ramai. Tak peduli apa judul korannya, pasti akan jadi bahan gunjingan paling menarik di warung sederhana.

Di kepulauan yang mengaku sehijau zamrud ini, pohon ditebangi sekenanya. Birokrasinya mudah. Maksudnya mudah ditelikung. Terbukti Indonesia disemati Guiness Book of record sebagai perusak hutan paling besar sepanjang masa. Punya hutan paling besar, tapi merusaknya juga tidak kenal eman. Ngomong-ngomong eman itu tukang nasi goreng langganan saya waktu di jakarta. serius.

Kemarin, hujan sudah mulai berkeroyok menghujami bumi sejak matahari masih perjalanan ke arah barat. Masih sore. Langit belum tersemat malam, tapi cakrawala sudah kelabu. Seperti sebatalyon Isrofil yang terbang berderap-derap di angkasa raya, mencium dosa hina dina dari lautan muslim KTP di jagad nusantara. Yang rutinitasnya dibuat menjadi penghambat, subuh kesiangan, dhuhur kesibukan, ashar diperjalanan, maghrib kecapean, isya' ketiduran. Sudahlah. Buat apa dihansaplas lagi borok negeri ini.Toh darahnya sudah berceceran bernanah-nanah.

Tapi sungguh, aku tidak bergumam dusta, hujan mulai jam empat sore, dan paginya aku mendapati gemericik deras hujan masih membahana! langit masih sekelam rawon setan. Padahal aku harus sekolah. Pilihannya : meneruskan mimpi, tidak peduli, dan berkata, "ah, lapo sekolah". atau bergegas mandi sekenanya lantas berangkat menghadapi hujan dengan gagah berani dengan mata terpicing-picing kecipratan air hujan.Tak dinyana, hujan sehari suntuk tentu saja dibuntuti dengan serentengan hal tidak menyenangkan lainnya : banjir sebetis, macet, basah sekujur badan. Buntut itu masih ada buntutnya lagi. Sekolah bertelanjang kaki, sampai sekolah terlambat dua pulah delapan menit, serta kelas yang kotor dan becek.

Belum taman-taman sekolah yang sudah disulap menjadi kolam ikan dadakan. Itu bukan hiperbola, Aku benar-benar melihat ikan menari-menari di sana. mungkin luapan dari kolam yang ada didepan kantor kepala sekolah.

Aku berpikir tadi di perjalanan sepulang jumatan. Sebenenarnya ini situasi dilematis. Lagi-lagi tentang Indonesia. Negeri yang rakyatnya mengeluh saat disengat matahari di ubun-ubun, kadang sampai misuh-misuh segala, sekebun binatang dibawa semua, mulai "anjing, panas banget", sampai ," mbokne jaran, panase.."

Tapi saat hujan deras, sederas sekarang ini, semua kompak menghujat langit. luar biasa. Mana yang benar?

Di sisi yang lebih rasional, saat panas terik, petani padi dan palawija mengelus dada, bahkan sampai melakukan ritual memanggil hujan. Kadang desakan perut membuat akal mulai berpikir tidak logis.

Saat hujan deras ataupun hujan sedikit-sedikit tapi konsisten, giliran petani tembakau yang turut membuat hujannya sendiri dipelupuk mata mereka. Berpikir mau makan apa anak istri lusa besok.

Hujan membuat kita berpikir. lihat bagaimana prinsip hujan. Hujan itu embrionya juga dari bumi, yang menguap ke atas. Saat orang bawah sudah ke atas, jangan seganlah untuk ke bawah lagi, melihat tempat asalnya. Jangan tunggu senandung hujan mengajarimu.